Kamis, 08 Maret 2012 1 komentar

"Let Me Tell You What Happines it is.."



Radit menyesap kembali black coffe miliknya sembari memandang heran pada gadis yang sekarang duduk manis dihadapannya dengan tatapan yang sama herannya dengan dirinya. Tak menyangka akan bertemu dengannya di café seperti ini. Vionina, atau yang biasa disapa Nina, adalah rival sekaligus musuh bebuyutannya di masa SMA. Mereka sering bertengkar hanya karena masalah sepele, bersikutan di kantin sekolah misalnya. Dia satu-satunya makhluk di atas bumi yang paling Radit benci-dulu. Dulu sekali, masa-masa labil itu. Radit jadi malu sendiri mengingatnya sekarang.

"Kau banyak berubah," sebentuk senyum muncul di wajah manisnya saat memperhatikan Radit dari kaki hingga kepala.

“kau juga…  hm,  apa sampai sekarang kau tetap bersikukuh  menjadi atlet tennis, nona manja ?”

“cih, jangan memanggilku seperti itu lagi ! aku sudah 24 tahun ! tentu saja aku adalah seorang atlet tennis nasional sekarang ! apa kau tidak pernah membaca koran olahraga? Kau ini kampungan sekali. Sudah puluhan medali kuraih dan harusnya akhir bulan depan aku menguti turnamen asia…” 
Nina berusaha menjawab dengan bersemangat namun entah mengapa suaranya terdengar melemah di akhir kalimat. Manik mata foxy-nya menyiratkan setitik lara.

“eh, seharusnya? Kenapa pakai kata seharusnya? Kalau ikut ya ikut saja. Plin plan sekali !” Radit mengalihkan wajahnya setelah membalas ucapan Nina dengan sengit tanpa memperhatikan perubahan ekspresi wajah gadis manis didepannya.

"sudahlah lupakan ! Jadi, apa yang kau lakukan sekarang?" Tanya Nina kemudian.

"Aku bekerja, berkutat dengan saham perusahaan selama hampir dua tahun. Dan selama itu pula aku tidak pernah mengambil cuti" Radit menjawab dengan ekspresi datarnya.

"Sesuatu pasti mengubahmu.."  kata Nina perlahan.
 Matanya menatap pada cincin yang bersarang manis di jemari Radit,
 "atau seseorang…" lanjut Nina.

 Radit yang memperhatikan itu segera memasukkan tangan ke saku mantelnya. Ia menunduk. Ekspresinya berubah sedih.

“Maaf, aku harus segera pulang. Pekerjaanku menumpuk di rumah…”
"Maaf kalau aku-"
"Tidak perlu," Radit memotong ucapan Nina.

Radit  berjalan tergesa-gesa meninggalkan Nina yang mematung kebingungan tanpa sempat mengatakan apapun.

 "Senang bertemu denganmu kembali, Raditya…" bisiknya pelan yang tak mungkin terdengar oleh Radit.






Radit mendesah jengah saat ada yang menekan bel rumahnya secara brutal. Malas sekali rasanya membukakan pintu untuk orang yang berani mengganggu ketenangannya di hari  minggu ini. Rasa penasarannya terjawab saat ia dengan gontai membukakan pintu rumahnya. Sosok gadis dengan senyum innocent berdiri di depan pintu rumahnya, ya, gadis yang sama saat di café kemarin.

“k kau? Darimana kau tau alamat rumahku?”

“haiii~ sebenarnya kemarin aku mengikutimu secara diam diam. Yaaah meskipun aku sempat kehilangan jejakmu, tapi untung saja ibu-ibu yang tinggal disebelah rumahmu itu memberi petunjuk padaku”  cengiran polos terlukis di wajah imutnya.

Sedangkan radit hanya diam dengan tatapan yang seolah berkata ‘dasar-bodoh-mengganggu-saja’

“b boleh aku masuk?”
 Radit pun menggeser badannya, memberi ruang agar ‘mantan rivalnya’ itu bisa masuk.

"Jadi, apa yang kau punya disini, hm?" Tanya Nina. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan di rumah Radit.

 Rumah Radit bersih. Bersih dalam artian tidak ada benda-benda berharga atau barang ‘basa basi’ yang menghiasi rumahnya. 'Tidak ada yang menarik', simpul Nina sadis di dalam hati.

"Well… Berjuta-juta kesenangan, seperti yang kau lihat," sahut Radit sarkastik. Ia melirik tumpukan map di atas meja yang belum ia selesaikan.

“kau mau minum apa? “
“terserah, apa saja yang kau punya”
“ah aku hanya punya air putih” ucapan Radit barusan sontak membuat Nina ber ’gubrak’ ria.  Ditatapnya pemuda jangkung itu denga pandangan ‘sweatdrop’  - -“  

‘kalau Cuma punya air putih kenapa pake acara tawar tawar segala tadi’ rutuknya dalam hati.

Sepeninggal Radit ke dapur, ia mengitari sudut rumah Radit sembari memikirkan apa yang tetangga Radit katakan kemarin. Wanita paruh baya tetangga Radit itu mengatakan bahwa sudah beberapa tahun terakhir pemuda itu mengalami depresi akibat ditinggal oleh kekasihnya. Nina tidak   dapat menduga siapa kekasih radit yang dimaksud, karena semasa SMA dulu Radit memang terkenal playboy. Namun siapapun itu, yang jelas Radit pasti sangat mencintainya, sehingga luka karena ditinggal kekasihnya itu pasti sangatlah pedih.

Tak sengaja Nina menemukan sebuah foto yang dibingkai oleh pigura yang kacanya sedikit retak. Dibantingkah? Ia tak tahu. Yang jelas dalam foto itu terlihat Radit bersama seorang gadis yang dirangkulnya. ‘cantik…’ gumam Nina.

“apa yang kau lakukan ? jangan sentuh apapun !!” suara bass Radit mampu membuat Nina terlonjak.
“eh, ma maaf..” mereka berjalan kikuk kearah sofa dan duduk berhadapan.
“sebenarnya apa yang kau inginkan, hm?” saat ini mood Radit telah hancur sempurna. Terlihat dari nada bicaranya.

“kau benar benar depresi ya?” sungguh gadis yang berani.
“aku tahu ini terlambat.. tapi.. aku turut berduka cita” Nina menatap Radit dengan 
sungguh-sungguh. 
Sedetik kemudian Radit tau apa maksud dan kemana arah pembicaraan Nina. Ia hanya bisa menundukkan wajahnya. Selalu saja begini, selalu sakit saat ada yang menyinggung masalah Cindy, kekasihnya yang telah pergi  5 tahun lalu.

“maaf jika aku lancang. Tapi kau tidak boleh terus seperti ini. Ini demi kebaikanmu juga kebaikannya..”  Nina menggigit bibir bawahnya 

“kau tahu, dia tak akan suka melihatmu begini —“

“kau tak tau apa-apa tentangnya !” sahut Radit dingin. 
Ia berdiri. Kemarahan yang ditimbulkan karena ketidakberdayaannya timbul ke permukaan. Nina hanya orang lain… Ia tidak tahu apa-apa…

 Ia tidak tahu apa-apa tentang Cindy, bagaimana ia pergi, bagaimana Radit menjalani hidup selama ini. Hati Radit sakit mengingatnya.

"KAU SAMA SEKALI TIDAK MENGENALNYA!"

“pulanglah… lebih baik kau pulang” suara Radit melunak. Namun ekspresi  murka masih tersirat di wajah tampannya.

Nina yang awalnya hanya mendelik terkejut kearah Radit ikut bangkit. Ia menatap tajam pada pria dihadapannya, perasaan tidak terima berkecamuk dihatinya. Tidak terima? Ya, tentu saja.
“sebelum aku pergi, kau harus tau suatu hal” Nina menghela napas berat sebelum memulai ceritanya.

“apa kau masih ingat semua ejekan, hinaan, dan cacian yang pernah kau tujukan padaku dulu? Biar kuberi tau padamu tuan Raditya. Asal kau tahu, kau telah menjadi motivatorku sejak dulu! Konyol bukan? Tapi itulah kenyataanya. aku telah bekerja keras untuk meraih impianku menjadi atlet tennis. Aku tak mau kalah darimu. Aku tak mau sedikit pun menunjukkan bahwa diriku adalah gadis manja seperti apa yang kau katakan. Aku tak mau menjadi gadis lemah !! dan secara tidak langsung kau telah menjadi motivatorku, membuatku tidak pernah putus asa untuk meraih mimpiku !!” Nina yeng sedikit terengah-engah mencoba kembali mengambil napas panjang untuk meneruskan perkataannya.

“dan coba lihat dirimu sekarang. Orang yang selama ini kujadikan motivator, orang yang caciannya slalu kuingat saat aku terpuruk agar aku bangkit lagi, justru terlihat sangat lemah saat ini. Aku tak akan membiarkanmu terus larut dalam duka seperti ini. Kau harus bangkit !! sadar radit.. kumohon sadarlah…” Nina mengguncang pundak Radit keras. Isakan mulai terdengar darinya.

“hentikaaan !! kau bahkan tidak mengerti apa yang aku rasakan “ Radit menepis tangan Nina di pundaknya. 

“tidak mengerti katamu? Baik…. Akan kutunjukkan..” Nina menyingkkap lengan bajunya. Entah disengaja atau tidak, hari ini ia memang menggunakan baju  lengan panjang.

“kau lihat ini .. kau lihat luka bakar ini? Menjijikkan bukan? Ini belum seberapa dari yang ada di punggungku  Radit .. luka ini hampir memenuhi seluruh tubuhku..” bukan hanya isakan kini gadis itu benar benar menangis… dengan pilu..

“k k kau? Apa yang telah terjadi?”  Radit menatap ngeri pada luka bakar di tangan Nina. Meskipun tidak memenuhi seluruh bagian tangannya tapi luka itu terlihat sangat parah.

“luka ini….. kebakaran hebat terjadi dirumahku setahun yang lalu. Tidak hanya harta, bahkan seluruh keluargaku lenyap.. nyawaku juga hampir lenyap saat itu. Tapi ternyata akulah satu satunya orang yang berhasil selamat dari kebakaran itu meski dengan resiko cacat seumur hidup. Aku berbohong padamu kemarin, aku bukan seorang atlet tennis lagi semenjak peristiwa itu. Bahkan seluruh medali yang pernah kuraih ikut hangus terbakar dalam kebakaran itu…” Nina menunduk, tatapan matanya kosong, dan hatinya sangat ngilu mengingat kejadian naas setahun lalu.

Radit terpaku. Seolah tidak percaya dengan apa yang telah terjadi, dan perlahan ia pun tersadar. Ia sungguh merasa sebagai seonggok sampah yang tak berguna.

 Nina, yang hanya seorang gadis dapat dengan tegar menerima kenyataan yang terjadi. Kejadian yang dialami Nina baru lewat setahun, sedangkan ia sudah 5 tahun, sudah sangat lama. Kejadian yang menimpa Nina merenggut seluruh anggota keluarganya, semua medalinya, bahkan impiannya yang telah lama ia kejar dengan susah payah. Sedangkan Radit? Ia memang kehilangan kekasih tersayangnya, namun ia masih beruntung karena keluarganya masih lengkap dan siap mendukungnya kapanpun, masa depannya masih cerah, dan dia juga samasekali tidak mengalami cacat. Jadi intinya Radit merasa malu dan bersalah. Nina saja bisa setegar itu, lalu kenapa ia harus berlarut larut dalam kesedihan? ’ Such a fool guy!’ batinnya.

Radit yang tersadar akan kebodohannya selama ini. Ia berusaha menyangga tubuh Nina yang entah sejak kapan sudah menangis dalam duduknya, mencoba merengkuh gadis itu dan berbagi, berharap rengkuhannya bisa membuatnya berhenti menangis.

“aku lemah ya? Aku bodoh..” ucap Radit sembari mengusap rambut Nina.
“berjanjilah…”
“untuk?”
“berjanjilah untuk tidak mengulangi kebodohanmu, tuan keras kepala..”
“haha.. aku berjanji asal kau juga berjanji untuk selalu semangat dan tersenyum, nona jelek..”
“eh? Apa katamu? Ukh.. awas kau..”
-FIN-


 
;