Mengapa rindu tak pulang pada pemiliknya?
Mengapa kesepian begitu menguasaimu?
Mengapa lantai kamarmu begitu dingin?
Mengapa kamu, makhluk yang hina nyatanya adalah kesayangan sang Khalik.
Kukira aku sudah hapal betul urutan ceritanya.. bahwa beberapa hari setelahnya aku akan menertawai kebodohanku, belajar membencimu kukira mudah, karna tentu ada segudang alasan yang bisa kugunakan dan bahwa aku sudah khatam.
Kita begitu sama namun juga berbeda.
Ternyata aku masih berputar-putar pada pusaran rindu yang tak bertuan. Ternyata aku hanya terus berlari menghindar, bersembunyi dari kamu, ternyata aku punya berbukit-bukit alasan untuk tidak membenci apapun darimu.
Bahwa ternyata semakin aku berpaling semakin aku menemukanmu.
Aku menemukanmu pada ruang tamu rumahku. Aku menemukanmu pada matahari yang tenggelam diantara ilalang belakang rumahku. Aku menemukanmu pada kurir yang mengantarkan paket dengan jaketnya yang lusuh. Aku menemukanmu pada gunung tak bernama yang wajahnya tertutup kabut. Aku menemukanmu pada tanjakan curam yang membakar kampas rem motorku.
Dan aku menemukanmu pada diriku.
Sementara tuan pujangga berkata padaku, bahwa aku seperti itu karna aku tulus.
Hah! Persetan dengan tulus.
Persetan dengan apapun itu bila nyatanya kamu masih tak bisa melihatku.
Tak melihat apa yang tuan pujangga katakan.
Hei, atau justru kau melihatnya dan memanfaatkannya untuk memberi makan egomu?
Egomu yang liar dan binal. Egomu yang tak pernah terpuaskan oleh apapun di dunia ini.
Mengapa begitu susah menghangatkan lantai kamarmu yang dingin?
Entah sampai kapan, apa kamu tidak lelah?
Apa yang sebenarnya kamu cari?
Kuserahkan pada waktu. Meski sepertinya ia tak ada niatan untuk menjawab angan-angan bisu.